Akibat Buruk Meniru Konsep Psikologi Anak Modern Dari Barat
Posted on 23.34 | By Admin | In Info
“Timbulnya sikap atau pandangan popular yang menyatakan bahwa anak selalu benar hanya akan membuat anak tidak bisa menghargai orangtuanya.” (Prof. Malik Badri, Psikolog Muslim)
Dekade 2000-an adalah tanda dari ekspansi konsep pendidikan “Don’t say no to Children” yang menyapu para pemikiran orangtua, khususnya Ibu. Dalam konsep ini seorang Ibu diharamkan untuk menggunakan kata tidak/jangan pada anak-anak. Seperti ‘jangan bandel’, ‘jangan nakal’, ‘jangan malas’ dan lain sebagainya. Sebisa mungkin kata-kata itu dihindari dan diganti kalimat positif seperti menggunakan perintah ‘rajinlah’ sebagai kata ganti ‘jangan malas’. Sekilas konsep ini menarik, anak-anak diajarkan untuk lebih berani mengapresiasi diri. Orangtua pun digembleng untuk lebih ‘menghargai’ potensi anak untuk berkembang. Sebab, menurut konsep ini, pemakaian kalimat negatif cenderung mengekang.
Bahwa kita harus menyertakan alasan ketika memakai kata jangan kepada anak, iya. Tapi penafian kata jangan dalam konsep pendidikan akan berbuah fatal. Karena dalam konsep pendidikan Islam penegasan itu sangat penting, karena Islam adalah sebuah agama dengan kandungan perintah dan juga larangan. Konsekuensi dari keimanan itu adalah bahwa Islam adalah agama yang akan mendelegasikan kata “jangan’ dalam firmanNya.
Oleh sebab itu, sebuah kalimat tauhid yang secara agung dikumandangkan oleh pria mulia bernama Lukmanul Hakim kepada anaknya didokumentasikan secara utuh dalam Al Qur’an.
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Adalah keunikan tersendiri jika kita mengkasi surat ini, lihatlah redaksi yang dipakai Lukman. Ia lebih memilih mengedepankan kata penafian, “Jangan mempersekutukan Allah”, ketimbang “Sembahlah Allah.” Sebab pendidikan anak dalam Islam adalah satu rel khusus dimana penegasan menjadi keniscayaan. Dan penegasan tidak dapat terjadi ketika menghilangkan separuh konsep larangan. Dengan memakai kata jangan, Lukman ingin menutup peluang pengakuan adanya Ilah lainnya yang patut disembah.
Rupanya itu bukan satu-satunya kasus, dalam ayat lain Allah juga memakai kata jangan pada beberapa ayat,
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai muslim.” (QS. Ali-Imran [3] : 102)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-walimu (pemimpin-pemimpinmu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5] : 51)
“Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh penampilan orang-orang kafir di berbagai negeri. Itu hanyalah kesenangan sejenak, kemudian tempat kembali mereka adalah (neraka) Jahannam, dan itulah tempat yang paling buruk. Namun bagi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya adalah surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya, sebagai tempat tinggal di sisi Allah. Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran [3]: 196-198)
Memang di satu sisi kelemahan kebiasaan mengatakan tidak pada anak perlu dikritisi. Ini terjadi karena pada gilirannya, jamak terjadi perkataan tidak dibarengi oleh sebuah penjelasan. Ini yang harusnya dihindari, padahal jika kita kembali merujuk pada nasihan Lukmanul Hakim pada anaknya, perintah larangan dibarengi dengan maksud.
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Namun membuang konsep 'jangan' dan 'tidak' pada anak, lebih buruk dari sekedar menghindari kata jangan pada anak. Malik Badri dalam bukunya, “Dilemma of Muslim Psychologist” pernah menyinggung hal ini. Menurutnya para psikolog muslim dan Arab kerap termakan dogma dari psikolog Barat yang menyatakan bahwa “orang tua selalu berada pada fihak yang salah. Sebaliknya berkembangnya sikap atau pandangan yang menyatakan bahwa “anak selalu benar” hanya akan membuat anak menjadi tidak bisa menghargai orangtuanya.
Efek Buruk Psikologi Modern Untuk Anak dari Dunia Barat
Dekade 2000-an adalah tanda dari ekspansi konsep pendidikan “Don’t say no to Children” yang menyapu para pemikiran orangtua, khususnya Ibu. Dalam konsep ini seorang Ibu diharamkan untuk menggunakan kata tidak/jangan pada anak-anak. Seperti ‘jangan bandel’, ‘jangan nakal’, ‘jangan malas’ dan lain sebagainya. Sebisa mungkin kata-kata itu dihindari dan diganti kalimat positif seperti menggunakan perintah ‘rajinlah’ sebagai kata ganti ‘jangan malas’. Sekilas konsep ini menarik, anak-anak diajarkan untuk lebih berani mengapresiasi diri. Orangtua pun digembleng untuk lebih ‘menghargai’ potensi anak untuk berkembang. Sebab, menurut konsep ini, pemakaian kalimat negatif cenderung mengekang.
Bahwa kita harus menyertakan alasan ketika memakai kata jangan kepada anak, iya. Tapi penafian kata jangan dalam konsep pendidikan akan berbuah fatal. Karena dalam konsep pendidikan Islam penegasan itu sangat penting, karena Islam adalah sebuah agama dengan kandungan perintah dan juga larangan. Konsekuensi dari keimanan itu adalah bahwa Islam adalah agama yang akan mendelegasikan kata “jangan’ dalam firmanNya.
Oleh sebab itu, sebuah kalimat tauhid yang secara agung dikumandangkan oleh pria mulia bernama Lukmanul Hakim kepada anaknya didokumentasikan secara utuh dalam Al Qur’an.
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Adalah keunikan tersendiri jika kita mengkasi surat ini, lihatlah redaksi yang dipakai Lukman. Ia lebih memilih mengedepankan kata penafian, “Jangan mempersekutukan Allah”, ketimbang “Sembahlah Allah.” Sebab pendidikan anak dalam Islam adalah satu rel khusus dimana penegasan menjadi keniscayaan. Dan penegasan tidak dapat terjadi ketika menghilangkan separuh konsep larangan. Dengan memakai kata jangan, Lukman ingin menutup peluang pengakuan adanya Ilah lainnya yang patut disembah.
Rupanya itu bukan satu-satunya kasus, dalam ayat lain Allah juga memakai kata jangan pada beberapa ayat,
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai muslim.” (QS. Ali-Imran [3] : 102)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-walimu (pemimpin-pemimpinmu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5] : 51)
“Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh penampilan orang-orang kafir di berbagai negeri. Itu hanyalah kesenangan sejenak, kemudian tempat kembali mereka adalah (neraka) Jahannam, dan itulah tempat yang paling buruk. Namun bagi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya adalah surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya, sebagai tempat tinggal di sisi Allah. Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran [3]: 196-198)
Memang di satu sisi kelemahan kebiasaan mengatakan tidak pada anak perlu dikritisi. Ini terjadi karena pada gilirannya, jamak terjadi perkataan tidak dibarengi oleh sebuah penjelasan. Ini yang harusnya dihindari, padahal jika kita kembali merujuk pada nasihan Lukmanul Hakim pada anaknya, perintah larangan dibarengi dengan maksud.
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Namun membuang konsep 'jangan' dan 'tidak' pada anak, lebih buruk dari sekedar menghindari kata jangan pada anak. Malik Badri dalam bukunya, “Dilemma of Muslim Psychologist” pernah menyinggung hal ini. Menurutnya para psikolog muslim dan Arab kerap termakan dogma dari psikolog Barat yang menyatakan bahwa “orang tua selalu berada pada fihak yang salah. Sebaliknya berkembangnya sikap atau pandangan yang menyatakan bahwa “anak selalu benar” hanya akan membuat anak menjadi tidak bisa menghargai orangtuanya.
Efek Buruk Psikologi Modern Untuk Anak dari Dunia Barat
“Saya seringkali mengatakan pada teman-teman yang penuh semangat belajar psikologi anak modern, khususnya terhadap mereka yang hidup di Negara-negara Barat dan dalam masyarakat Islam modern; ‘Jika Anda menginginkan anak-anak Anda tumbuh menjadi remaja yang suka meletakkan kaki atau sepatunya di meja ketika ia berbicara dengan Anda, seperti yang Anda lihat di Film-film Amerika; dan jika Anda menginginkan mereka menaruh Anda dan ibunya di tempat penitipan orang tua setelah Anda menjadi jompo, maka ikuti saja dengan membabi buta nasehat psikologi Barat itu'”
Rupanya konsep pelarangan kepada anak tidak saja datang dari dunia Islam. Anthony Storr, seorang psikiater asal Inggris yang banyak melahirkan buku, tidak lepas untuk berbicara mengenai hal itu. Dalam bukunya “The Integrity of Personality”, yang telah menjadi Doktor sejak tahun 1944, mengomentari sikap para psikolog yang tidak menyutujui sikap resktriktif (batasan atau pelarangan) orangtua kepada anaknya. Ia menulis,
“…orangtua terkadang mendapat dirinya diktritik hanya karena peran mereka sebagai orangtua. Orangtua dikatakan “baik” jika mereka menunjukkan sikap protektif atau melindungi, dan dikatakan “buruk” jika menunjukkan sikap restriktif atau mengadakan pembatasan-pembatasan: dank arena proteksi (perlindungan) tidak mungkin dilakukan tanpa restriksi (pelarangan), maka tidak ada satu orangtua pun yang dapat melepaskan diri dari dua predikat yang saling bertentangan ini..”
Keruntuhan Moral Anak-Anak Yang Terjadi Di Barat
Pada perkembangannya, Malik Badri mewanti-wanti para orangtua muslim untuk berkaca kepada keruntuhan moral pada anak-anak Barat. Tragedi memudarnya sikap respek anak kepada orangtua diakibatkan dari lunaknya pemberian hukuman dari para orangtua. Dan Islam bersama kitab suci Al Qur’an sudah menetapkan relasi anak dan orangtua yang dibungkus sikap mulia. Dalam surah Al Israa, Allah berfirman,
“ dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Al Israa: 23-24)
Kelahiran teori Behaviorisme dan Runtuhnya Teori Psikoanalisa
Jalur masuknya konsep “Don’t say no to children” bisa kita lihat sejak psikologi humanisme mengetuk pintu jiwa manusia modern tahun 1950-an. Pasca runtuhnya Psikoanalisa dan munculnya Behaviorisme, Barat masih belum dapat mendefinisikan manusia secara utuh. Jika psikoanalisa menyatakan tiap manusia ditakdirkan sakit dengan ketegangan libido yang membelitnya, maka Behaviorisme menginterupsi psikoanalisa dengan menampik faktor fisiologis sebagai keladi dari kepribadian manusia. Tokohnya adalah Ivan Pavlov disusul Edward Thorndike, John B. Watson, Albert Bandura, dan B.F Skinner.
Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia diciptakan dari hasil belajar, bukan masa lalu seperi klaim kaum psikoanalis. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; mereka hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan.
Nah pada titik inilah, para psikolog tidak setuju. Mereka menilai gagasan kaum behavioris seperti merendahkan derajat manusia. Manusia ditafsirkan tidak memiliki jiwa karena hanya dibentuk oleh lingkungan. Padahal manusia memiliki potensi insani untuk mengubah lingkungan. Akhirnya tridente Yahudi Carl Rogers, Abraham Maslow, Erich Fromm dan lainnya menelurkan gagasan psikologi humanisme.
Namun pada gilirannya humanisme pun berkembang menjadi aliran psikologi yang begitu mengagungkan manusia. Mereka banyak terpengaaruh filsafat eksistensialisme yang terkenal dengan diktumnya Jean Paul Sartre bahwa "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas. (pz/bersambung)
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/mengapa-yang-dihancurkan-yahudi-pertama-kali-adalah-wanita-6.htm
Comments (0)
Posting Komentar