Siapa Bilang Epilepsi karena Roh Jahat?
Posted on 08.46 | By Admin | In Education , Medical , Pengetahuan
technocrati.com
Umurnya hampir 14 tahun. Seharusnya Fawwaz Ilyasa Zein sudah duduk di kelas II sekolah menengah pertama. Tapi, dua kali tinggal kelas saat duduk di kelas II dan IV SD Kartini, Kemayoran, membuat Fawwaz saat ini masih duduk di kelas VI. "Gurunya bilang dia sering terlihat bengong saat di kelas," kata ibunda Fawwaz, Prihatin, ihwal alasan di balik tidak naiknya Fawwaz tersebut.
Awalnya, Prihatin menduga kondisi yang dialami anaknya lantaran ia terlalu banyak bermain. Namun dugaan itu salah. Di rumah, Fawwaz kerap terlihat bengong secara tiba-tiba. Saat bungsu dua bersaudara itu menonton televisi, misalnya. "Saya tanya, 'Kamu tahu enggak ceritanya?' Dia bilang 'Enggak tahu'. Ternyata, pikirannya blank," kata Prihatin, yang merasa aneh dengan kondisi Fawwaz.
Sampai suatu malam, ia mendapati Fawwaz kejang-kejang dan mengeluarkan busa dari mulutnya. Prihatin menduga Fawwaz mengidap epilepsi. Saat dibawa ke dokter pada 22 Oktober 2009, diagnosis dokter membenarkan dugaan itu. "Vonis" itu langsung membuat ingatan Prihatin melompat ke belakang saat Fawwaz kecil. "Dia pernah terjatuh dari tangga sebanyak empat kali dan membentur kepala bagian belakang," ujar perempuan berusia 44 tahun yang bekerja sebagai perawat kecantikan ini.
Menurut Hardiono Pusponegoro, dokter spesialis anak FKUI-RSCM, Jakarta, epilepsi sama sekali tak mempengaruhi kecerdasan penderita. Menurut dia, kasus yang dialami Fawwaz lantaran epilepsi sering menyerangnya saat dia belajar.
"Sedikit-sedikit blank, sehingga banyak pelajaran yang tertinggal," kata Hardiono dalam seminar bertajuk "Mari Hapus Stigma Negatif Epilepsi" di Jakarta, Kamis lalu. Hajatan ini digelar Kelompok Studi Epilepsi, Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi Indonesia, Yayasan Epilepsi Indonesia, dan PT Abbott.
Hardiono menjelaskan epilepsi adalah kejang spontan yang dialami seseorang dan terjadi lebih dari dua kali tanpa sebab yang jelas. Epilepsi (seizures) terjadi saat letupan kimia listrik di neuron otak terjadi secara berlebihan. Pada anak-anak, serangan bengong menjadi salah satu bentuk bangkitan epilepsi bisa sangat sering terjadi. “Bisa puluhan kali terjadi dalam sehari," kata Hardiono. "Durasi bangkitan 3-5 menit."
Soal epilepsi, menurut Lyna Soertidewi, dokter spesialis saraf FKUI-RSCM, sebagian besar--77 persen--penyebab epilepsi tidak diketahui. Sedangkan sisanya, 23 persen, merupakan epilepsi simptomatik yang disebabkan berbagai hal, seperti trauma otak, infeksi otak, malformasi, neoplasma susunan saraf pusat, dan cerebrovascular. Penyebab trauma otak ini persis yang terjadi pada Fawwaz.
Secara epidemiologi, kata Lyna, pengidap epilepsi 0,5-1 persen dari populasi. Prevalensinya mencapai 8,2 per 1.000 penduduk, sedangkan angka kejadian mencapai 50 per 100 ribu penduduk. Di Indonesia, jumlah pengidap epilepsi diperkirakan sebanyak 1,8 juta dalam 220 juta penduduk.
Walaupun telah dikenal lama, stigma negatif masih banyak dilekatkan pada penyandang epilepsi. Mereka dianggap terkena roh jahat, kesurupan, guna-guna, atau sebuah kutukan. Buntutnya, mereka dikucilkan dari lingkungan karena takut tertular. "Stigma negatif terhadap pengidap epilepsi sudah seharusnya dihilangkan," kata Lyna, "Epilepsi sebenarnya sama dengan penyakit kronis atau penyakit menahun lainnya."
Ia menegaskan epilepsi dapat diobati dan dikendalikan sehingga pengidapnya dapat hidup normal, bahkan berprestasi. Sebanyak 70-80 persen pengidap epilepsi dapat sembuh dengan obat. Hanya sekitar 30 persen yang tidak dapat sembuh karena ada gangguan dalam otaknya.
"Yang patut diperhatikan bagi pengidap epilepsi adalah rajin dan teratur minum obat," kata Hardiono. Berhenti minum obat secara mendadak akan mengakibatkan serangan baru yang dapat berakibat serius, seperti serangan epilepsi beruntun dan sulit diterapi.
Awalnya, Prihatin menduga kondisi yang dialami anaknya lantaran ia terlalu banyak bermain. Namun dugaan itu salah. Di rumah, Fawwaz kerap terlihat bengong secara tiba-tiba. Saat bungsu dua bersaudara itu menonton televisi, misalnya. "Saya tanya, 'Kamu tahu enggak ceritanya?' Dia bilang 'Enggak tahu'. Ternyata, pikirannya blank," kata Prihatin, yang merasa aneh dengan kondisi Fawwaz.
Sampai suatu malam, ia mendapati Fawwaz kejang-kejang dan mengeluarkan busa dari mulutnya. Prihatin menduga Fawwaz mengidap epilepsi. Saat dibawa ke dokter pada 22 Oktober 2009, diagnosis dokter membenarkan dugaan itu. "Vonis" itu langsung membuat ingatan Prihatin melompat ke belakang saat Fawwaz kecil. "Dia pernah terjatuh dari tangga sebanyak empat kali dan membentur kepala bagian belakang," ujar perempuan berusia 44 tahun yang bekerja sebagai perawat kecantikan ini.
Menurut Hardiono Pusponegoro, dokter spesialis anak FKUI-RSCM, Jakarta, epilepsi sama sekali tak mempengaruhi kecerdasan penderita. Menurut dia, kasus yang dialami Fawwaz lantaran epilepsi sering menyerangnya saat dia belajar.
"Sedikit-sedikit blank, sehingga banyak pelajaran yang tertinggal," kata Hardiono dalam seminar bertajuk "Mari Hapus Stigma Negatif Epilepsi" di Jakarta, Kamis lalu. Hajatan ini digelar Kelompok Studi Epilepsi, Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi Indonesia, Yayasan Epilepsi Indonesia, dan PT Abbott.
Hardiono menjelaskan epilepsi adalah kejang spontan yang dialami seseorang dan terjadi lebih dari dua kali tanpa sebab yang jelas. Epilepsi (seizures) terjadi saat letupan kimia listrik di neuron otak terjadi secara berlebihan. Pada anak-anak, serangan bengong menjadi salah satu bentuk bangkitan epilepsi bisa sangat sering terjadi. “Bisa puluhan kali terjadi dalam sehari," kata Hardiono. "Durasi bangkitan 3-5 menit."
Soal epilepsi, menurut Lyna Soertidewi, dokter spesialis saraf FKUI-RSCM, sebagian besar--77 persen--penyebab epilepsi tidak diketahui. Sedangkan sisanya, 23 persen, merupakan epilepsi simptomatik yang disebabkan berbagai hal, seperti trauma otak, infeksi otak, malformasi, neoplasma susunan saraf pusat, dan cerebrovascular. Penyebab trauma otak ini persis yang terjadi pada Fawwaz.
Secara epidemiologi, kata Lyna, pengidap epilepsi 0,5-1 persen dari populasi. Prevalensinya mencapai 8,2 per 1.000 penduduk, sedangkan angka kejadian mencapai 50 per 100 ribu penduduk. Di Indonesia, jumlah pengidap epilepsi diperkirakan sebanyak 1,8 juta dalam 220 juta penduduk.
Walaupun telah dikenal lama, stigma negatif masih banyak dilekatkan pada penyandang epilepsi. Mereka dianggap terkena roh jahat, kesurupan, guna-guna, atau sebuah kutukan. Buntutnya, mereka dikucilkan dari lingkungan karena takut tertular. "Stigma negatif terhadap pengidap epilepsi sudah seharusnya dihilangkan," kata Lyna, "Epilepsi sebenarnya sama dengan penyakit kronis atau penyakit menahun lainnya."
Ia menegaskan epilepsi dapat diobati dan dikendalikan sehingga pengidapnya dapat hidup normal, bahkan berprestasi. Sebanyak 70-80 persen pengidap epilepsi dapat sembuh dengan obat. Hanya sekitar 30 persen yang tidak dapat sembuh karena ada gangguan dalam otaknya.
"Yang patut diperhatikan bagi pengidap epilepsi adalah rajin dan teratur minum obat," kata Hardiono. Berhenti minum obat secara mendadak akan mengakibatkan serangan baru yang dapat berakibat serius, seperti serangan epilepsi beruntun dan sulit diterapi.
sumber: http://www.tempo.co/read/news/2011/12/18/060372297/Siapa-Bilang-Epilepsi-karena-Roh-Jahat
Comments (0)
Posting Komentar